BAHAN SERMON PARHALADO FULLTIME
TU MINGGU II DUNG TRINITATIS
09 JUNI 2013
===========================================
YESUS
MEMBANGKITKAN PEMUDA NAIN
Lukas
7:11-17
(Pendekatan
Naratif)
PENDAHULUAN
Peristiwa buruk dapat menimpa siapa saja. Tanpa pemberitahuan
awal, tragedi tiba-tiba sudah masuk dalam kehidupan kita. Ketika tragedi itu
menerpa, banyak orang belum siap. Akibatnya, beragam responpun bisa terjadi.
Respon terburuk adalah ketika Tuhan dipersalahkan. Tuhan dianggap sebagai
penyebab dari sebuah tragedi.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), terbitan Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional RI, tragedi didefinisikan sebagai sandiwara
sedih (pelaku utamanya menderita kesengsaraan lahir dan batin yang luar biasa
atau sampai meninggal); atau peristiwa yang menyedihkan. Dari definisi itu,
dapat dikatakan bahwa kesengsaraan, penderitaan dan sejenisnya jadi penyebab
hadirnya sebuah tragedi.
Siapa di antara kita yang tidak sedih ketika orang yang dikasihi
meninggalkan kita. Dalam waktu yang tidak terduga, harus menghadap sang Khalik.
Menurut penelitian, disebutkan kematian orang yang terdekat sebut saja,
suami-istri atau anak jadi penyebab utama munculnya stress yang luar biasa.
Injil Lukas mencatat sebuah peristiwa khas yang tidak terdapat di
Injil lain (Luk. 7:11-17). Kisah itu diawali tatkala Yesus dan para murid
beserta orang banyak hendak menuju kota Nain. Nain adalah sebuah kota yang
terletak di perbatasan Galilea dan Samaria. Kurang lebih sekitar 10 kilometer
sebelah tenggara Nazaret.
PENJELASAN
Rasa Sedih, adalah manusiawi
Sebelum tiba di kota itu, tepatnya mau memasuki gerbang kota (Yun: pulee,gate, pintu
gerbang, harbangan), mereka bertemu dengan rombongan yang
mengusung jenazah seorang anak muda. Alkitab tidak mencatat dengan pasti berapa
usia anak muda itu. Namanya juga tidak disebutkan. Yang jelas dicatat, anak
muda itu adalah anak seorang janda (Yun: cheera, widow, janda, mabalu). Anak muda itu adalah anak satu-satunya (Yun:monogenees huios, only
son, anak tunggal, Anak sasada). Tumpuan harapannya. Tidak heran jika di
sepanjang perjalanan ia terus menangis karena merasa kehilangan. Perasaan
kehilangan semacam ini sangat manusiawi.
Dalam pikirannya banyak pertimbangan. Mungkin juga
kekhawatiran-kekhawatiran tertentu yang beralasan. Terlebih statusnya sebagai
janda. Pada masa itu, janda dipandang sebelah mata. Demikian juga mengenai masa
depannya. Selama ini dia anak laki-lakinya sebagai harapannya. Sekarang anak
laki-lakinya yang masih muda itu telah tiada. Kepada siapakah dia dapat
bertumpu? Nampaknya, dari segi pikiran logis, tidak ada harapan lagi baginya.
Harapannya pupus sudah. Menang masuk akal kalau dia sungguh menangisi kepergian
anak satu-satunya itu. Kecil kemungkinan baginya untuk menikah lagi dan dapat
anak. Kira-kira itulah kekhawatiran sang Janda. Dan lebih lagi dari itu, memang
kematian akan memisahkannya dari anaknya, dan itu menjadi kenyataan terpahit.
Kesedihan yang mendalam. Belajar dari kisah Janda tersebut, kesedihan bisa saja
datang kepada siapapun juga. Terlebih ketika yang paling kehilangan
dikasihinya.
Tergerak oleh belas kasihan (Compassion)
Orang-orang di sekeliling sang janda hanya bisa ikut menangis.
Mereka tak kuasa menjawab persoalan mendasar yang sedang terjadi. Mereka tidak
punya kapasitas untuk menolongnya. Syukurlah ia bertemu Yesus. Hatinya sedih.
Wajahnya penuh linangan air mata. Matanya sayu menatap peti janazah anak
tercinta. Tiba-tiba suasana berubah.
Yesus mendekati usungan jenazah itu. Ia menyentuhnya. Yesus tidak
menunggu sampai ada yang memintaNya untuk menolong. Ia memerintahkan anak muda
itu bangkit! Sebenarnya, menurut mereka, tindakan Yesus ini berbahaya! Menurut
hukum taurat, hal ini tidak dibenarkan. Mengapa demikian? Orang yang menyentuh
mayat atau usungan mayat berarti najis. Itulah hukum yang berlaku. Hukum itu
sudah mendarah daging dalam masyarakat. Nampaknya, Yesus tidak peduli dengan
aturan itu.
Mengapa Yesus berbuat demikian? Belas kasih-Nya melintasi semua
aturan manusia. Belas kasih-Nya melewati semua aturan hukum yang kaku. Kata
belas kasih (Yun: esplagkhnisthe, asi ni roha) menunjuk pada pengertian bela rasa. Dalam bahasa Inggris, istilah
ini disebut compassion. Pada prinsipnya compassion berarti sympathy for the suffering of
others, often including a desire to help, artinya
suatu rasa simpati terhadap penderitaan orang lain/sesama, termasuk kerinduan
untuk menolong. Jadi, belas kasih tidak hanya pada perasaan simpati, tetapi
melebihi itu. Ada hasrat yang kuat untuk berbuat sesuatu.
Karena itu, Yesus menyentuh usungan jenazah itu. Anak muda itu pun
bangkit. Semua orang tercengang dan berkata nabi besar telah muncul di
tengah-tengah kita. Anak muda itu pun bangkit! Ini mukjizat. Secara keseluruhan
dalam Alkitab, mukjizat yang terjadi selalu bermula dari belas kasih-Nya.
Perbuatan Yesus yang membangkitkan anak muda tersebut, dari yang tergerak oleh compassion ini, makin teranglah, kalau
bagi Dia, manusia tidak akan hilang, hidup atau mati. Dia berkuasa atas
keduanya. Dalam Roma 14:8 Sebab jika kita
hidup, kita hidup untuk Tuhan, dan jika kita mati, kita mati untuk Tuhan. Jadi
baik hidup atau mati, kita adalah milik Tuhan. Dengan demikian, yang hilang
dalam kehidupan manusia ketika keluarganya meninggal, kebersamaan dan
komunikasi.
Tergerak oleh belas kasihan Yesus (Compassion) menjadi bagian
penting. Seringkali kasih dan belas kasihan disebutkan sebagai motivasi dari
mujijat Kristus (Mat 14:14; 15:32) Dalam kejadian ini, seperti dalam banyak
kejadian lainnya, mujijat Tuhan kita dilakukan, bukan dengan tujuan untuk
memberikan ‘surat bukti’ tentang missiNya, tetapi keluar dari belas kasihanNya
yang kuat dan belas kasihan IlahiNya untuk penderitaan manusia.
Pada peristiwa Nain, belas kasihan Kristus menggenapi dirinya
sendiri dengan menyelamatkan seorang anak tunggal. Kasih yang besar dengan mana
Allah telah mengasihi kita telah menggenapi dirinya sendiri dengan tidak
menahan Anak TunggalNya. Belas kasihan Kristus, pada waktu Ia mendekati pintu
gerbang kota, memberikan kembali seorang anak kepada ibunya. Kasih yang besar
dari Allah, melalui pengorbanan pada salib, membawa kembali banyak anak
kepada tangan yang terbuka dari Bapa yang menunggu. Iman kita pada belas
kasihan yang tidak terbatas ini yang merupakan sumber dari segala pengharapan
untuk manusia.
Dukacita menjadi Sukacita
Janda Nain ini dalam sebuah tragedi (kejadian tragis). Tetapi,
kehadiran Yesus menjadi solusi baginya. Ketika Yesus berkenan, dukacita pun
dapat berubah menjadi sukacita. Tragedi berubah menjadi pengalaman iman
yang menyenangkan. Tetapi, kita juga perlu waspada. Yesus kadang-kadang tidak
selalu berbuat seperti yang dilakukan-Nya pada janda Nain itu. Para penganut
teologi kemakmuran dengan cepat berkesimpulan bahwa hal itu disebabkan karena
adanya dosa. Benarkah? Tentu saja tidak selalu demikian. Yesus adalah Guru
Agung yang mengajar umat-Nya dengan berbagai cara. Demikian juga dengan
peristiwa Nain. Seandainya, anak satu-satunya dari janda Nain ini tidak mati,
tentu dia dan orang banyak yang bersama dengannya tidak punya pengalaman
pribadi dengan Yesus. Kematian itu harus terjadi sebagai ”ilustrasi” yang
tepat untuk menunjukan kemahakuasaan Tuhan kita.
Seandainya anak janda Sarfat (1 Raja-raja 17:17-24) tidak
meninggal, pasti tidak pernah mengalami pertolongan Tuhan, anaknya dibangkitkan
oleh nabi Elia. Semua ini, sarana pembelajaran yang harus dialami. Bukan karena
Tuhan jahat dan senang menyaksikan manusia menderita. Bukan! Tetapi, melalui
peristiwa-peristiwa itu, pengenalan akan pribadi Tuhan semakin bertambah.
Yesus mengerti betul apa yang dialami janda tersebut dengan
kematian anak tunggalnya. Solidaritas Yesus yang masuk dalam kedukaan janda
tersebut telah membawa sukacita yang besar bagi ibu dan orang banyak waktu itu.
Kasih Allah yang begitu besar telah menghidupkan kembali nyawa anak tersebut
dan tentu saja semangat sang ibu. Sapaan lembut Yesus, “Jangan menangis” adalah
bentuk ajakan Yesus agar tangisan yang timbul karena dukacita tersebut tidak
menjadikan kita kehilangan semangat, namun mengingatkan kita akan kasih Yesus
yang mengerti dan memahami penderitaan dan dukacita yang kita alami.
Kehadiran dan solidaritas Yesus adalah bentuk keikutsertaan Yesus
merasakan setiap bentuk penderitaan dan dukacita yang kita alami. Setiap
manusia pasti mengalami kesedihan, dukacita dan berbagai macam bentuk
penderitaan yang membawa kita dalam “tangisan”. Namun, melalui perikop ini,
setiap orang percaya diingatkan bahwa kasih Allah mengerti semua itu. Ia
solider dengan kita dan ia merasakan betul bagaimana penderitaan kita. Dengan
demikian adalah hal yang kurang baik jika kita berada dalam “tangisan yang
berlebihan” dan lupa bahwa di samping kita sedang duduk bersama kita Yesus, dan
mengatakan “jangan menangis”.
KESIMPULAN
1. Kasih Yesus Kristus yang begitu besar menjadi dasar dari perenungan
kita. Yesus membangkitkan anak muda di Nain digerakkan oleh bela kasihan
(Compassion) kepada janda itu. Demikian juga kasihnya yang besar untuk
kesedihan yang dialami orang berdosa, dan itulah keselamatan.
2. Yesus datang dan memberikan semangat kepada janda itu dan berkata:
“jangan menangis”, ungkapan itu selalu disuarakan kepada kita dalam setiap
pergumulan hidup kita. Dengan demikian, perlu kepekaan untuk mendengar suara
Tuhan yang senantiasa bersedia melawat pergumulan setiap orang.
3. Yesus berkuasa atas kematian dan kehidupan. Dialah Tuhan orang
yang hidup dan yang mati.
Pdt. Harminto Sihombing, STh
HKBP PURWAKARTA
0 comments:
Post a Comment