Monday, 28 April 2014

Lukas 7:11-17



BAHAN SERMON PARHALADO FULLTIME
HKBP DISTRIK XVIII JABARTENDIY
TU MINGGU II DUNG TRINITATIS
09 JUNI 2013
===========================================
YESUS MEMBANGKITKAN PEMUDA NAIN
Lukas 7:11-17
(Pendekatan Naratif)
PENDAHULUAN                    
Peristiwa buruk dapat menimpa siapa saja. Tanpa pemberitahuan awal, tragedi tiba-tiba sudah masuk dalam kehidupan kita. Ketika tragedi itu menerpa, banyak orang belum siap. Akibatnya, beragam responpun bisa terjadi. Respon terburuk adalah ketika Tuhan dipersalahkan. Tuhan dianggap sebagai penyebab dari sebuah tragedi.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), terbitan Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional RI, tragedi didefinisikan sebagai sandiwara sedih (pelaku utamanya menderita kesengsaraan lahir dan batin yang luar biasa atau sampai meninggal); atau peristiwa yang menyedihkan. Dari definisi itu, dapat dikatakan bahwa kesengsaraan, penderitaan dan sejenisnya jadi penyebab hadirnya sebuah tragedi.
Siapa di antara kita yang tidak sedih ketika orang yang dikasihi meninggalkan kita. Dalam waktu yang tidak terduga, harus menghadap sang Khalik. Menurut penelitian, disebutkan kematian orang yang terdekat sebut saja, suami-istri atau anak jadi penyebab utama munculnya stress yang luar biasa.
Injil Lukas mencatat sebuah peristiwa khas yang tidak terdapat di Injil lain (Luk. 7:11-17). Kisah itu diawali tatkala Yesus dan para murid beserta orang banyak hendak menuju kota Nain. Nain adalah sebuah kota yang terletak di perbatasan Galilea dan Samaria. Kurang lebih sekitar 10 kilometer sebelah tenggara Nazaret.

PENJELASAN
Rasa Sedih, adalah manusiawi
Sebelum tiba di kota itu, tepatnya mau memasuki gerbang kota (Yun: pulee,gate, pintu gerbang, harbangan), mereka bertemu dengan rombongan yang mengusung jenazah seorang anak muda. Alkitab tidak mencatat dengan pasti berapa usia anak muda itu. Namanya juga tidak disebutkan. Yang jelas dicatat, anak muda itu adalah anak seorang janda (Yun: cheera, widow, janda, mabalu). Anak muda itu adalah anak satu-satunya (Yun:monogenees huios, only son, anak tunggal, Anak sasada). Tumpuan harapannya. Tidak heran jika di sepanjang perjalanan ia terus menangis karena merasa kehilangan. Perasaan kehilangan semacam ini sangat manusiawi.
Dalam pikirannya banyak pertimbangan. Mungkin juga kekhawatiran-kekhawatiran tertentu yang beralasan. Terlebih statusnya sebagai janda. Pada masa itu, janda dipandang sebelah mata. Demikian juga mengenai masa depannya. Selama ini dia anak laki-lakinya sebagai harapannya. Sekarang anak laki-lakinya yang masih muda itu telah tiada. Kepada siapakah dia dapat bertumpu? Nampaknya, dari segi pikiran logis, tidak ada harapan lagi baginya. Harapannya pupus sudah. Menang masuk akal kalau dia sungguh menangisi kepergian anak satu-satunya itu. Kecil kemungkinan baginya untuk menikah lagi dan dapat anak. Kira-kira itulah kekhawatiran sang Janda. Dan lebih lagi dari itu, memang kematian akan memisahkannya dari anaknya, dan itu menjadi kenyataan terpahit. Kesedihan yang mendalam. Belajar dari kisah Janda tersebut, kesedihan bisa saja datang kepada siapapun juga. Terlebih ketika yang paling kehilangan dikasihinya.

Tergerak oleh belas kasihan (Compassion)
Orang-orang di sekeliling sang janda hanya bisa ikut menangis. Mereka tak kuasa menjawab persoalan mendasar yang sedang terjadi. Mereka tidak punya kapasitas untuk menolongnya. Syukurlah ia bertemu Yesus. Hatinya sedih. Wajahnya penuh linangan air mata. Matanya sayu menatap peti janazah anak tercinta. Tiba-tiba suasana berubah.
Yesus mendekati usungan jenazah itu. Ia menyentuhnya. Yesus tidak menunggu sampai ada yang memintaNya untuk menolong. Ia memerintahkan anak muda itu bangkit! Sebenarnya, menurut mereka, tindakan Yesus ini berbahaya! Menurut hukum taurat, hal ini tidak dibenarkan. Mengapa demikian? Orang yang menyentuh mayat atau usungan mayat berarti najis. Itulah hukum yang berlaku. Hukum itu sudah mendarah daging dalam masyarakat. Nampaknya, Yesus tidak peduli dengan aturan itu.
Mengapa Yesus berbuat demikian? Belas kasih-Nya melintasi semua aturan manusia. Belas kasih-Nya melewati semua aturan hukum yang kaku. Kata belas kasih (Yun: esplagkhnisthe, asi ni roha) menunjuk pada pengertian bela rasa. Dalam bahasa Inggris, istilah ini disebut compassion. Pada prinsipnya compassion berarti sympathy for the suffering of others, often including a desire to help, artinya suatu rasa simpati terhadap penderitaan orang lain/sesama, termasuk kerinduan untuk menolong. Jadi, belas kasih tidak hanya pada perasaan simpati, tetapi melebihi itu. Ada hasrat yang kuat untuk berbuat sesuatu.
Karena itu, Yesus menyentuh usungan jenazah itu. Anak muda itu pun bangkit. Semua orang tercengang dan berkata nabi besar telah muncul di tengah-tengah kita. Anak muda itu pun bangkit! Ini mukjizat. Secara keseluruhan dalam Alkitab, mukjizat yang terjadi selalu bermula dari belas kasih-Nya. Perbuatan Yesus yang membangkitkan anak muda tersebut, dari yang tergerak oleh compassion ini, makin teranglah, kalau bagi Dia, manusia tidak akan hilang, hidup atau mati. Dia berkuasa atas keduanya. Dalam Roma 14:8 Sebab jika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan, dan jika kita mati, kita mati untuk Tuhan. Jadi baik hidup atau mati, kita adalah milik Tuhan. Dengan demikian, yang hilang dalam kehidupan manusia ketika keluarganya meninggal, kebersamaan dan komunikasi.
Tergerak oleh belas kasihan Yesus (Compassion) menjadi bagian penting. Seringkali kasih dan belas kasihan disebutkan sebagai motivasi dari mujijat Kristus (Mat 14:14; 15:32) Dalam kejadian ini, seperti dalam banyak kejadian lainnya, mujijat Tuhan kita dilakukan, bukan dengan tujuan untuk memberikan ‘surat bukti’ tentang missiNya, tetapi keluar dari belas kasihanNya yang kuat dan belas kasihan IlahiNya untuk penderitaan manusia.
Pada peristiwa Nain, belas kasihan Kristus menggenapi dirinya sendiri dengan menyelamatkan seorang anak tunggal. Kasih yang besar dengan mana Allah telah mengasihi kita telah menggenapi dirinya sendiri dengan tidak menahan Anak TunggalNya. Belas kasihan Kristus, pada waktu Ia mendekati pintu gerbang kota, memberikan kembali seorang anak kepada ibunya. Kasih yang besar dari Allah, melalui pengorbanan pada salib, membawa kembali banyak anak kepada tangan yang terbuka dari Bapa yang menunggu. Iman kita pada belas kasihan yang tidak terbatas ini yang merupakan sumber dari segala pengharapan untuk manusia.

Dukacita menjadi Sukacita
Janda Nain ini dalam sebuah tragedi (kejadian tragis). Tetapi, kehadiran Yesus menjadi solusi baginya. Ketika Yesus berkenan, dukacita pun dapat berubah menjadi sukacita. Tragedi berubah menjadi pengalaman iman yang menyenangkan. Tetapi, kita juga perlu waspada. Yesus kadang-kadang tidak selalu berbuat seperti yang dilakukan-Nya pada janda Nain itu. Para penganut teologi kemakmuran dengan cepat berkesimpulan bahwa hal itu disebabkan karena adanya dosa. Benarkah? Tentu saja tidak selalu demikian. Yesus adalah Guru Agung yang mengajar umat-Nya dengan berbagai cara. Demikian juga dengan peristiwa Nain. Seandainya, anak satu-satunya dari janda Nain ini tidak mati, tentu dia dan orang banyak yang bersama dengannya tidak punya pengalaman pribadi dengan Yesus. Kematian itu harus terjadi sebagai ”ilustrasi” yang tepat untuk menunjukan kemahakuasaan Tuhan kita.
Seandainya anak janda Sarfat (1 Raja-raja 17:17-24) tidak meninggal, pasti tidak pernah mengalami pertolongan Tuhan, anaknya dibangkitkan oleh nabi Elia. Semua ini, sarana pembelajaran yang harus dialami. Bukan karena Tuhan jahat dan senang menyaksikan manusia menderita. Bukan! Tetapi, melalui peristiwa-peristiwa itu, pengenalan akan pribadi Tuhan semakin bertambah.
Yesus mengerti betul apa yang dialami janda tersebut dengan kematian anak tunggalnya. Solidaritas Yesus yang masuk dalam kedukaan janda tersebut telah membawa sukacita yang besar bagi ibu dan orang banyak waktu itu. Kasih Allah yang begitu besar telah menghidupkan kembali nyawa anak tersebut dan tentu saja semangat sang ibu. Sapaan lembut Yesus, “Jangan menangis” adalah bentuk ajakan Yesus agar tangisan yang timbul karena dukacita tersebut tidak menjadikan kita kehilangan semangat, namun mengingatkan kita akan kasih Yesus yang mengerti dan memahami penderitaan dan dukacita yang kita alami.
Kehadiran dan solidaritas Yesus adalah bentuk keikutsertaan Yesus merasakan setiap bentuk penderitaan dan dukacita yang kita alami. Setiap manusia pasti mengalami kesedihan, dukacita dan berbagai macam bentuk penderitaan yang membawa kita dalam “tangisan”. Namun, melalui perikop ini, setiap orang percaya diingatkan bahwa kasih Allah mengerti semua itu. Ia solider dengan kita dan ia merasakan betul bagaimana penderitaan kita. Dengan demikian adalah hal yang kurang baik jika kita berada dalam “tangisan yang berlebihan” dan lupa bahwa di samping kita sedang duduk bersama kita Yesus, dan mengatakan “jangan menangis”.

KESIMPULAN
1.   Kasih Yesus Kristus yang begitu besar menjadi dasar dari perenungan kita. Yesus membangkitkan anak muda di Nain digerakkan oleh bela kasihan (Compassion) kepada janda itu. Demikian juga kasihnya yang besar untuk kesedihan yang dialami orang berdosa, dan itulah keselamatan.   
2.  Yesus datang dan memberikan semangat kepada janda itu dan berkata: “jangan menangis”, ungkapan itu selalu disuarakan kepada kita dalam setiap pergumulan hidup kita. Dengan demikian, perlu kepekaan untuk mendengar suara Tuhan yang senantiasa bersedia melawat pergumulan setiap orang.
3.   Yesus berkuasa atas kematian dan kehidupan. Dialah Tuhan orang yang hidup dan yang mati. 

Pdt. Harminto Sihombing, STh
HKBP PURWAKARTA

0 comments:

Post a Comment